Beberapa hari, saya merasa damai. Damai karena handphone saya rusak dan harus diperbaiki. Pertama-tama saya kesal karena handphone saya satu-satunya (tidak ada cadangan dan pinjaman) rusak artinya harus keluar uang ekstra untuk perbaikan, belum kalau ternyata rusaknya parah itu kan berarti saya harus beli baru yang artinya uang ekstra saya jadi tambah banyak. Kedua, saya pasti akan repot karena harus menelpon lewat telepon rumah dan saya tidak punya backup nomor kontak. Ketiga, saya sulit dihubungi, rasanya jadi seperti terkucilkan.
Kemudian saya menjalani beberapa hari tanpa handphone, ternyata tak seperti yang saya duga. Saya pikir hari-hari saya bakal menyebalkan, tapi saya justru merasa damai, rasanya seperti terbebaskan dari ketergantungan teknologi. Singkat kata , saya menjadi lebih rileks.
Setelah saya pikir-pikir lagi, hidup manusia sudah sangat tergantung dengan teknologi. Memang teknologi sangat membantu kehidupan, tapi di sisi lain malah me-dehumanisasi-kan manusia. Berapa waktu yang digunakan di depan tv, komputer, handphone? Berapa cepat dan banyak informasi yang dapat diakses sesegera mungkin? Jadi lebih konsumtif. Dulu orang lebih menepati janji, lebih teliti, lebih sabar, dan lebih menghargai proses. Sekarang semua serba terburu-buru lebih parah lagi manusia jadi anti sosial.
Beberapa hari berlalu kemudian handphone saya sembuh, saya tentu gembira, bukan hanya karena kesembuhannya, tapi saya juga bisa mendapatkan ‘waktu istirahat’ dan saya dapat mengerti bahwa manusia harus menguasai tekonologi bukan teknologi yang menguasai manusia. Intinya teknologi diciptakan untuk kemajuan, kesejahteraan dan untuk membuat hidup manusia sempurna. Bukan untuk membuat manusia menjadi ketergantungan, anti sosial, konsumtif dan hedonis. Walaupun pada perkembangannya, teknologi dikaitkan dengan modernitas dan materialisme kemudian malah menjebak manusia sendiri. Akhirnya manusia juga yang bisa memilih, mau di kontrol oleh teknologi atau sebaliknya.
keren ci
BalasHapusfollow back dong