Selama ini, buruh diasosiasikan sebagai pekerja kerah biru, pekerja pabrik atau yang melakukan kerja kasar lainnya. Tetapi sebenarnya, buruh juga meliputi pekerja kerah putih yang kerjanya setiap hari di kantor, duduk di depan komputer sambil buat laporan. Intinya buruh bukan pemilik modal, pekerja eksekutif atau kasar pangkatnya tetap saja buruh. Perbedaan antara 2 macam buruh, banyak terletak pada penghasilan dan keselamatan kerja.
Sebenarnya kondisi yang terjadi pada buruh kasar juga terjadi pada buruh eksekutif, masalah gaji kecil, kontrak kerja, dan outsourcing juga ada pada pekerja kerah putih ini, terlebih-lebih pada fresh graduate. Perusahaan sangat suka merekrut fresh graduate selain karena mudah dibentuk juga karena mau digaji murah dengan dahlih tidak punya pengalaman. Para fresh graduate dipaksa untuk menerima gaji yang standar padahal banyak fresh graduate yang merupakan lulusan sarjana strata 1 dan 2. Jika modal pendidikan saja tidak cukup, bagaimana dengan masyarakat yang tidak sempat mendapat pendidikan yang layak.
Pada perjalanan pulang dengan angkot, saya mendengar percakapan sopir angkot dan temannya yang ditawari pekerjaan nyopir oleh sopir lainnya dengan gaji Rp 1.6 juta. Mendengar percakapan mereka saya tertegun, sopir yang boleh dibilang berpendidikan lebih rendah dari sarjana saja mendapat penghasilan sebesar itu dan para fresh graduate kebanyakan mendapat gaji sekitar Rp 1.5 juta sampai dengan Rp 2.5 juta. Sepertinya kerja keras selama kuliah tidak dihargai dalam dunia kerja. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan, semakin tinggi status sosial maka semakin tinggi kebutuhan yang diperlukan.
Bukan hanya masalah gaji, status kontrak dan outsourcing juga menghantui pekerja kerah putih. Banyak pekerja yang diterima dengan status kontrak beberapa bulan dan juga kerja di agen outsourcing. Setelah kontrak kerja selesai nasib pekerja pun tidak jelas.
Persoalan ini bukan saja disebabkan oleh teori supply and demand, pemerintah harus ikut campur dalam masalah ini. Terdapat banyak faktor dalam dunia investasi, jangan jadikan faktor pekerja menjadi yang utama dalam menarik minat para investor. Tetapi titik beratkan pada faktor lain yang mungkin lebih penting dan urgen (infrastruktur, birokrasi, insentif pajak). Pemerintah juga seharusnya melindungi hak-hak pekerja baik pekerja kerah putih maupun biru karena mereka adalah asset negara (sumber daya manusia), negara tidak hanya dibangun oleh para investor tetapi juga ada manusia-manusia lain yang turut serta dalam pembangunan negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar